Jl. Ir. H. Djuanda No. 32B, Mamuju, Sulbar info@yayasankarampuang.or.id
Ikuti kami:
Umum

Sebut saja namanya Mawar {17}. Gadis mungil yang lahir di ujung Utara kota Kaledo itu, harus menguburkan mimpinya menjadi polwan. Mawar terjerat moral bangsat sang ayah tiri sejak duduk di bangku SD. Ia terpaksa memilih kawin muda dengan seorag lelaki pujaannya. Mawar tahu itu salah, tetapi lebih baik ia kawin muda daripada harus terus menanggung malu akibat ulah ayah tiri. Kini, ia menerawang asa di langit-langit batinnya, mencoba tegar bersama bocah kecil dari hasil rahimnya.

Oleh : Hanafi Saro

Pukul 14 lewat 44 menit, saya bersama beberapa staf Yayasan Karampuang Mamuju {YKM}, Rabu {15/1/2020} menuju ke rumah persinggahan salah satu NGO di kota Palu. Letaknya cukup jauh dari kantor YKM, tujuan kami selain menyampaikan santunan ke Mawar, kami pun bermaksud meminta ijin tertulis ke Mawar dan NGO yang mengadvokasinya selama ini.
Sebagai lembaga kemanusiaan yang bergerak di bidang perlindungan anak dan pendidikan, kami wajib meminta ijin ke Mawar untuk bisa merilis video documenter berdurasi 4 menit yang kami buat bersama tim penyusun saat workshop media KIE.
{Tim penyusun media KIE memang sudah lebih dulu menyambangi Mawar di rumah persinggahan yang terletak di sudut kota bagian Utara Palu. Mereka telah berhasil meramu cerita Mawar dalam bentuk audio visual}
Empat puluh lima menit berlalu. Mobil yang kami tumpangi sudah di areal rumah persinggahan. Bunga {40} -namanya disamarkan- menyambut kami dengan ramah senyum. Kami dipersilakan duduk sambil menunggu ia memanggilkan Mawar yang berada di kediaman neneknya tidak jauh dari rumah persinggahan. Kami bersepakat saat bertemu Mawar nanti, kami tidak ingin merasuki otak Mawar dengan segudang pertanyaan seputar kenapa ia memilih kawin muda?, kenapa Mawar hanya pasrah dan tidak berontak dengan kondisi yang diterimanya? hingga bagaimana ayah tirinya melakukan perbuatan bejat itu? Yah, kami tidak ingin Mawar mengenang masa pahitnya lagi. Kami hanya ingin berbagi sedikit santunan untuk keperluan si bayi, anak Mawar dan meminta ijin video documenter yang kami buat bisa dirlis dan disaksikan banyak orang sebagai renungan.
Mawar pun akhirnya muncul. Ia masih bisa melontarkan senyum kecil. Senyumnya ikhlas tapi jauh di lubuk hati Mawar, ada pedih teramat pedih yang terus disembunyikan. Ia menjabat tangan kami yang masih menatapnya penuh ragu apakah ia ingin menerima santunan dan memberikan ijin kisah duka dalam bentuk film documenter yang dialami Mawar bisa kami rilis.
Benar saja, setelah beberapa menit kami berbincang dan memperlihatkan potongan film documenter tentang kisah Mawar, suaranya sedikit bergetar. Ia meminta kami bersabar agar film itu jangan dulu dirilis sebelum ia berbicara dengan pimpinan NGO yang sudah mengadvokasinya selama ini. “Kasih saya waktu le. Saya mau minta pendapat ibu yang sudah mengadvokasi saya,” tutur Mawar datar menahan sesak.
Kami tidak bisa memaksa Mawar karena ini masalah aib. Kami memahami itu dan hanya bisa memberi senyum semangat dan berharap ia bisa menerima santunan ala kadarnya yang terkumpul dari beberapa staf YKM. “Semoga santunan ini bisa diterima dan bermanfaat untuk pembeli susu si kecil,” ujar salah seorang staf YKM.
Sambil berjalan menuju mobil, Mawar dan ibu Bunga masih sempat menemani kami pergi meninggalkan rumah persinggahan itu. Saya pun mencoba membuka percakapan singkat agar kami diijinkan mengurus Akte Kelahiran anak Mawar. Bahkan, kami pun berjanji menguruskan KTP dan Kartu Keluarga Mawar (sebagai lembaga kemanusian, sekali lagi kami dapat melakukan itu karena memiliki sinergitas dan kerjasama dengan dukcapil Palu yang bisa menerbitkan ketiga dokumen dimaksud} Mawar tersenyum dan mengucapkan terima kasih jika hal itu bisa terwujud karena selama ini ia dan suaminya belum memiliki identitas kependudukan dan Akte lahir anaknya.
Dibalik kisah suramnya, bagi kami Mawar adalah batu karang yang dihempas nyanyian gelombang pasang. Walau terkikis air laut, ia tetap kokoh. Mawar tidak memilih mengurung diri dan terus larut dalam sembilu. Selang sehari saja, Mawar secara sadar akhirnya bersedia menandatangani ijin rilis film documenter itu. Wajah Mawar kini merah merona penuh cinta disamping suaminya yang kini sudah sah berstatus warga kota Palu karena sudah memiliki KTP, KK dan Akte Kelahiran sebagai identitas anak semata wayangnya. {***}


Silahkan dibagikan:


Tinggalkan Komentar