Jl. Ir. H. Djuanda No. 32B, Mamuju, Sulbar info@yayasankarampuang.or.id
Ikuti kami:
Umum

Mamuju – Penegakan hukum responsif gender menjadi salah satu isu yang diperbincangkan pada kegiatan Talkshow kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Mamuju, Sulawesi Barat. Diketahui bersama, aparat penegak hukum merupakan ujung tombak pemenuhan rasa keadilan bagi korban dalam sebuah proses hukum, termasuk pada kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dibutuhkan kesamaan persepsi di kalangan aparat penegak hukum yang responsif gender untuk mengedepankan pemenuhan kepentingan korban perempuan dan anak, yang mana hal tersebut dianggap belum terjadi di Sulawesi Barat.

Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Kartini Manakarra, Dian Daniati pada talkshow kampanye 16 HAKTP yang berlangsung di Warkop DJ 47, Karema Mamuju, Senin (25/11/19). Menurutnya penguatan perspektif gender disegala aspek baik masyarakat, pemerintah maupun penegak hukum perlu dilakukan yang mana saat ini kata Dian, penegak hukum belum responsif gender.

Senada, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulawesi Barat menyampaikan bahwa saat ini perempuan yang menjadi korban seringkali justru disalahkan lagi, dikaitkan dengan cara berbusana, juga waktu keluar rumah, padahal permasalahannya adalah pada otak pelaku. Jadinya, korban bukannya merasa tertolong tapi seperti jatuh tertimpa tangga pula karena kembali disalahkan.

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Nergeri Sulbar, Anri Yuliana menyampaikan bahwa di Mamuju, perempuan sebagai korban kekerasan meningkat. Seperti kasus KDRT, kasus penelantaran keluarga karena adanya wanita idaman lain, pembunuhan, penganiayaan dan kasus lainnya. Anri menyebut, kasus terbanyak adalah kekerasan seksual terhadap perempuan atau asusila terhadap anak dibawah umur, yang mana kasus tersebut tidak boleh diselesaikan dengan mediasi, pelaku harus dihukum.

Anri menambahkan, menurut aturan, bukan soal bagaimana menghukum pelaku setinggi-tingginya, akan tetapi bagaimana menyadarkan pelaku untuk tidak melakukan kekerasan lagi. Pun kesadaran untuk memahami kesalahannya dalam persidangan tidak serta merta harus dijatuhi hukuman maksimal tapi ada pertimbangan sebab akibat.

“hukuman kebiri belum ada di undang-undang kita, karena di KUHP hanya ada pidana denda, bersyarat, mati. Rancangan KUHP lebih mendorong fungsi jaksa untuk turun langsung. Setiap kasus tidak selamanya sama, jadi yang diusahakan adalah restorasi justice. Sebaiknya yang dilakukan terlebih dahulu adalah pencegahan.” Urainya

Kembali menyampaikan argumennya, Direktur Kartini Perempuan berharap agar setiap pihak mulai ber-perspektif gender. Juga setiap elemen dapat bekerjasama dalam memastikan korban memperoleh kepastian hukum.

Direktur Yayasan Karampuang, Ija Syahruni juga menyampaikan bahwa diharapkan semua elemen tidak terkecuali media dapat ber-perspektif gender sehingga korban tidak mendapat kekerasan yang bertubi-tubi. Memaksimalkan sosialisasi juga menjadi salah satu solusi yang mesti dilakukan bersama-sama sehingga semua pihak utamanya korban dapat mengakses informasi dan aparat penegak hukum juga memiliki perspektif sama yang responsive gender. (dhl)



Silahkan dibagikan:


Tinggalkan Komentar